Syiah Dan Sunnah -

Oleh: Jam Mashanis Binti Jamiran

PENDAHULUAN

Seringkali kita membaca di akhbar-akhbar atau mendengar orang membicarakan mengenai Syiah, tetapi kebanyakan gambaran yang diberikan kurang jelas, kabur, dan negatif. Malah, ada yang mengatakan dengan sewenang-wenangnya bahawa syiah itu kafir kerana terkeluar dari madzhab empat ahlul sunnah tanpa membezakan antara Syiah yang diakui dan Syiah yang ghulat (menyeleweng). 

Mereka menyatakan Syiah mempercayai saidina Ali a. s separuh Tuhan, menganggap guruh dan petir itu suara Ali, mempercayai imam-imam 12 itu lebih baik dari para malaikat yang muqarrabun kepada Tuhan, menggunakan mushaf al-Quran lain dari mushaf Uhtman dan lain-lain. 

Justeru itu mereka membuat kesimpulan bahawa Syiah itu kafir. Mereka menegaskan bahawa memerangi Syiah itu mesti diutamakan daripada memerangi Yahudi. Padahal Yahudi tidak pernah membezakanya musuhnya sama ada Sunnah atau Syiah. 

Sikap ini lahirnya dari sifat fanatik, pengetahuan yang tidak mendalam, membuat rujukan hanya kepada orang tertentu yang fanatik atau kitab-kitab tertentu yang ditulis khas untuk melahirkan permusuhan di kalangan umat Islam. Ekoran itu, dengan kurniaan akal dari Allah SWT yang Maha Besar haruslah kita mengkaji hadis-hadis sahih yang ada mengenai hukum-hakam yang di dalam agama Islam ini masih menjadi pertelingkahan di kalangan ahli ulama yang bijak pandai bersesuaian dengan firman Allah SWT di dalam surah Az-Zumar ayat 17 dan 18 yang menyuruh kita menimbang di antara beberapa perkataan, maka mana yang baik diguna, mana yang buruk dibuang. Umpama kalau ada di antara ulama yang bertikai faham tentang tafsir Al-Quran (hukum halal dan haram), hendaklah kita pertimbangkan mana yang lebih kuat hujah dan alasannya, maka itulah yang wajar kita turut. 

PENGENALAN KEPADA AHLI SYIAH

Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Muslim Syi'ah mengikuti Islam sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan Ahlul Bait-nya. Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Shī`ī (Bahasa Arab: شيعي. ) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali

Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī شيعي. "Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q. S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun) 

Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. Adapun menurut terminologi syariat bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama diantara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab. 

Dalil kewujudan beberapa perkataan Syi’ah di dalam ayat Al-Quran dan Hadis-hadis Rasulullah SAW

Perkataan Syiah (mufrad) disebut sebanyak empat kali dalam al-Qur'an dan ia memberi erti golongan atau kumpulan, pertama dalam Surah as-Saffat: 83-84, firman Tuhan yang bermaksud, "Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk Syiahnya (golongannya), ingatlah ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci". 

Kedua, dalam Surah Maryam: 69, firman Tuhan yang bermaksud, "Kemudian pasti Kami tarik dari tiap-tiap golongan (Syiatihi) siapa antara mereka yang sangat derhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah". 

Ketiga dan keempat dalah Surah al-Qasas: 15, firman Tuhan yang bermaksud, "Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya dalam kota itu dua orang lelaki yang berkelahi; yang seorang dari golonganya (Syiatihi) (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (Syiatihi) meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya". 

Sementara itu, ada perkataan Syiah dalam Hadith Nabi SAW lebih dari tiga kali, antaranya disebut oleh Imam as-Suyuti dalam tafsirnya Durr al-Manthur, Beirut, Jilid 6, hal. 379 - Surah al-Bayyinah, Nabi SAW bersabda:"Wahai Ali, engkau dan Syiah engkau (golongan engkau) di Hari Kiamat nanti keadaannya dalam redha dan diredhai", dan sabdanya lagi:"Ini (Ali) dan Syiahnya (golongannya) (bagi) mereka itulah yang mendapat kemenangan di Hari Kiamat nanti". 

Dengan ini kita dapati bahawa perkataan Syiah itu telah disebutkan dalam al-Qur'an dan Hadith Nabi SAW. 

Ikhtisar

Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an, Islam, Emulation (guru terbaik tentang Islam setelah Muhammad), dan pembawa serta penjaga terpercaya dari tradisi Sunnah Nabi Muhammad. 

Secara khusus, Muslim Syi'ah mengakui Ali bin Abi Thalib (sepupu Muhammad, menantu, dan kepala keluarga Ahlul Bait) sebagai penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeza dengan Khalifah yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung dari Nabi Muhammad, dimana perintah Muhammad bererti wahyu dari Allah. 

Perbezaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbezaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan. 

Tanpa memperhatikan perbezaan tentang Khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun mazhab-mazhab dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini. 

Mazhab dalam Syi'ah

Syi'ah terpecah menjadi 22 mazhab. Dari 22 mazhab itu, hanya tiga mazhab yang masih ada sampai sekarang, yakni:

Dua Belas Imam
Disebut juga Imammiah atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam). Dinamakan demikian sebab mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan imam mereka yaitu:
1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5. Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6. Jafar bin Muhammad (703–765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7. Musa bin Ja'far (745–799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
8. Ali bin Musa (765–818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
9. Muhammad bin Ali (810–835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
10. Ali bin Muhammad (827–868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
11. Hasan bin Ali (846–874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari
12. Muhammad bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi

Ismailiyah
Disebut juga Tujuh Imam. Dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:
1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5. Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6. Ja'far bin Muhammad (703–765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7. Ismail bin Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim. 

Zaidiyah
Disebut juga Lima Imam. Dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat kerana tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:
1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5. Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir. 

Yang dimaksudkan dengan Syiah yang menyeleweng ialah Syiah yang selain daripada Imamiyyah/Ja'fariyyah dan Zaidiyyah. Mereka diringkaskan sebagai ghulat. 

Imam al-Ghazali dalam bukunya Mustazhiri menentang keras Syiah ghulat kerana ia mengandungi pengajaran Batiniah. Imam Ja'far as-Sadiq AS pula menyatakan Syiah ghulat tidak boleh dikahwini dan diadakan sebarang urusan keagamaan kerana aqidah mereka bertentangan dengan al-Qur'an dan Hadith. 


Dasar-dasar ajaran Syi’ah
Dalam Syi'ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu'uddin (masalah penerapan agama). Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin:
1. Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa. 
2. Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil. 
3. An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah pada keberadaan para nabi sama seperti muslimin lain. I’tikadnya tentang kenabian ialah:
o Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124. 000. 
o Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad SAW. 
o Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Beliaulah nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada. 
o Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci. 
o Al-Qur'an ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad SAW. 
4. Al-Imamah, bahwa bagi Syi'ah berarti pemimpin urusan agama dan dunia, yaitu seorang yang bisa menggantikan peran Nabi Muhammad SAW sebagai pemelihara syariah Islam, mewujudkan kebaikan dan ketenteraman umat. Al-hadits yang juga diriwayatkan Sunni: "Para imam setelahku ada dua belas, semuanya dari Quraisy". 
5. Al-Ma’ad, bahwa Syi'ah mempercayai kehidupan akhirat

PENGENALAN KEPADA AHLUL SUNNAH

Pengertian umum, Ahlul Sunnah ialah sesiapa yang mengikut Sunnah Nabi SAW kemudian ia dihimpun kepada empat madzhab fiqh jumhur yang terkenal sebagai mazhab Ahlul Sunnah Wal Jemaah iaitu yang diketuai oleh Imam Malik (mazhab Maliki) yang lahir pada tahun 95 Hijrah dan meninggal tahun 179 Hijrah, Imam Abu Hanifah (mazhab Hanafi) yang lahir tahun 80 Hijrah dan meninggal tahun 150 Hijrah, Imam Syafie (mazhab Syafie) yang lahir tahun 150 Hijrah dan meninggal tahun 204 Hijrah, dan Imam Ibnu Hanbal (mazhab Hanbali) yang lahir tahun 164 Hijrah dan meninggal tahun 241 Hijrah. 

Di segi teologi, ia dihimpunkan kepada dua madzhab yang diketuai oleh A-Asy'ari yang dilahirkan tahun 227 Hijrah dan meninggal setelah tahun 330 Hijrah dan al-Maturidi yang lahir 225 Hijrah dan meninggal 331 Hijrah. 

Adalah suatu kenyataan bahawa orang di tiga abad pertama (di permulaan sejarah Islam) secara mutlak tidak pernah berpegang kepada mana-mana madzhab itu. Dan madzhab-madzhab itu tidak wujud pada tiga abad pertama, padahal itu adalah masa-masa yang terbaik. 

Hampir dua abad selepas lahirnya madzhab-madzhab empat, kedudukan pengikut-pengikut mereka dilanda perpecahan dan masing-masing mendakwa madzhab merekalah yang terbaik. 

Az-Zamakshari yang lahir 467 Hijrah bersamaan 1075 Masehi dan meninggal 537 Hijrah bersamaan 114 Masehi, seorang Hanafi, telah menggambarkan kedudukan madzhab Empat/Ahlul Sunnah pada masa itu seperti berikut:

Jika mereka bertanya tentang madzhabku, 

Aku berdiam diri lebih selamat, 

Jika aku mengakui sebagai seorang Hanafi, 

Nescaya mereka akan mengatakan aku mengharuskan minuman arak, 

Jika aku mengakui bermadzhab Syafie, mereka akan berkata: aku menghalalkan 'berkahwin dengan anak perempuan (zina) ku sedangkan berkahwin dengan anak sendiri itu diharamkan. 

Jika aku seorang Maliki, mereka berkata: aku menharuskan memakan daging anjing, 

Jika aku seorang Hanbali, mereka akan berkata: aku meyerupaikan Tuhan dengan makhluk. 

Dan jika aku seorang ahli al-Hadith, mereka akan berkata: aku adalah seekor kambing jantan yang tidak boleh memahami sesuatu (Tafsir al-Kasysyaf, Cairo, Jilid, II, hal. 494). 

Ini adalah sebahagian daripada gambaran fanatik yang berlaku di kalangan madzhab-madzhab itu sendiri. 

Dan di abad kemudiannya dihadkan madzhab kepada empat sahaja oleh pemerintah sekular pada masa itu. Dan tidak sekali-kali 'penentuan' itu berdasarkan kepada Hadith-Hadith Nabi SAWA. Malah 'penentuan' kepada empat itu adalah penentuan politik bagi menentang pergerakan Syiah Imamiyyah atau dalam erti kata yang khusus ialah pergerakan Ahlul Bayt. 

Hanya di abad ketiga belas tiap-tiap pengikut madzhab menyenaraikan nama-nama pengikutnya seperti as-Subki menulis senarai nama-nama pengikut as-Syafie dalam bukunya Tabaqat as-Syafiiyyah al-Kubra. 

PERSAMAAN KEDUA-DUA MAZHAB

Asas-asas Agama

Tidak ada perbezaan antara Syiah Imamiyyah dan madzhab Empat/Ahlul Sunnah mengenai asas-asas agama yang utama, iaitu Tauhid, Kenabian, dan Maad (Hari Kebangkitan). 

Semua pihak percaya sekiranya seorang mengingkari salah satu daripada asas-asas itu, maka dia adalah kafir. Mereka percaya al-Qur'an adalah Kitab Allah yang diturunkan kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad SAWA, tidak boleh dikurang atau ditambah, berdasarkan kepada Mushaf Uthman yang digunakan oleh seluruh umat Islam, manakala mushaf-mushaf lain seperti Mushaf Ali telah dibakar atas arahan Khalifah Uthman. Sekiranya ada penafsiran yang berbeza antara Syiah Imamiyyah dan Ahlul Sunnah mengenai ayat al-Qur'an, maka ia adalah perkara biasa yang juga berlaku di kalangan Ahlul Sunnah itu sendiri antara Syafie dan Hanafi dan seterusnya. 

Mengakui Kemuliaan Manusia Adalah Tertinggi

Ahlul Sunnah dan Syiah Imamiyyah percaya bahawa manusia adalah lebih mulia dari para malaikat, meskipun makhluk itu adalah yang hampir (al-Muqarrabun) kepada Tuhan. Manusia dianugerahkan dengan hawa nafsu dan keilmuan berlainan dengan malaikat yang dijadikan tanpa hawa nafsu dan para malaikat disuruh sujud kepada bapa manusia, Adam. 

Oleh itu Ahlul Sunnah dan Syiah Imamiyyah berpendapat bahawa Nabi Muhammad adalah lebih mulia dari semua makhluk Allah, termasuk malaikat. 

Rukhsah Solat

Semua pihak bersetuju sembahyang boleh dijamak/dihimpun apabila seseorang itu musafir. Ahlul Sunnah pada keseluruhannya tidak menggalakkan jamak sembahyang selain dari musafir. Meskipun begitu, mereka tidak menyatakan sembahyang jamak itu tidak sah bagi orang yang bermukim. 

Imam Malik mengharuskan jamak sembahyang Zohor dengan Asar, Maghrib dan Isya' di hari hujan, Kebanyakan pengikut Imam Syafie berpendapat jamak sembahyang boleh dilakukan jika ada sebab yang diharuskan oleh syarak dan adalah menjadi makruh jika dilakukan secara kebiasaan. 

Syiah Imamiyyah menyatakan, sembahyang jamak boleh dilakukan tanpa sebab musafir, sakit atau ketakutan kerana Nabi SAW bersembahyang jamak tanpa sebab dan musafir. 

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahawa "Rasulullah SAW sembahyang berjamaah dengan menjamakkan Zohor dengan Asar, Maghrib dengan Isya' tanpa musafir dan tanpa sebab takut", (Sahih Muslim, Bab Jawaz Jam' as-Salah fil-Hadr). 

Tarawikh

Ahlul Sunnah dan Syiah Imamiyyah bersetuju bahawa sembahyang tarawih tidak dilakukan pada masa Rasulullah dan khalifah Abu Bakar. 

Nikah mutaah

Semua pihak bersetuju bahawa nikah mut'ah diharuskan pada zaman Nabi SAW. 

Khurafat

Mengenai khurafat pula, semua pihak bersepakat bahawa khurafat mestilah diperangi habis-habisan. Namun begitu masih ada khurafat-khurafat dalam madzhab Syiah dan Sunnah. Jika ada mana-mana pengikut melakukan perkara itu maka ia menggambarkan kejahilan pengikut itu sendiri. 

Penilaian Hadis-hadis Nabi SAW

Semua pihak bersepakat menerima Hadith-Hadith Nabi yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang thiqah. 

Mengakui Kecintaa/Keutamaan kepada Ahlul Bait Nabi SAW

Ahlul Sunnah juga sependapat dengan Syi’ah Imammiyah bahawa Ahlul Bait Nabi SAW adalah lebih mulia dari orang lain, sebagaimana firman Tuhan dalam Surah al-Ahzab: 33, "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai Ahlul Bayt dan menyucikan kamu sebersih-bersihnya". 

Mengikut Muslim dalam Sahihnya, dan al-Wahidi dalam Asbab an-Nuzulnya, apa yang dimaksudkan dengan Ahlul Bait ialah Fatimah, Hasan, Husayn dan Ali. 

Berdasarkan kepada ayat itu, Syiah Imamiyyah percaya bahawa para Imam dua belas adalah maksum. Pengertian maksum, mengikut mereka ialah suatu kekuatan yang menegah seseorang daripada melakukan kesalahan/dosa. Dan ia tidak boleh menyalahi nas. 

Perkara semacam ini memang juga berlaku dalam hidup seseorang. Contohnya seorang yang ingin melakukan maksiat tertentu, kemudian ada sahaja perkara yang menegahnya daripada melakukan maksiat itu. Dan bukanlah pengertian maksum itu sebagaimana kebanyakan yang difahami umum, iaitu seseorang itu boleh melakukan maksiat kerana dia itu maksum. 

Para Imam Madzhab Empat/Ahlul Sunnah telah menunjukkan kasih sayang mereka kepada Imam-Imam Syiah Imamiyyah kerana mereka adalah anak-cucu Rasulullah. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berguru kepada Imam Ja'far as-Sadiq AS. 

Apabila mereka mengemukakan persoalan, mereka menggunakan lafaz"Wahai anak Rasulullah" kemudian barulah dikemukakan persoalan itu. 

Imam Malik dan Imam Abu Hanifah pernah mengeluarkan fatwa secara rahsia supaya umat Islam keluar berperang bersama Zaid bin Ali Zainal Abidin (Ahlul Bait) menentang pemerintah Bani Umaiyyah pada masa itu. Justeru itu mereka dipenjarakan. 

Imam Abu Hanifah berkata:"Jikalau tidak wujud dua Sunnah nescaya binasalah Nu'man" iaitu jikalau tidak wujudnya Sunnah Nabi dan Sunnah Ja'far as-Sadiq, nescaya binasalah beliau. 

Imam Syafie pula telah membuktikan kasih beliau kepada Ahlul Bayt dan Syiah dalam syairnya yang masyhur seperti berikut:

Aku adalah Syiah dalam agamaku, 

Aku berasal dari Makkah, 

Dan rumahku di Asqaliyah (Fakhruddin ar-Razi, Manaqib al-Imam as-Syafie, Cairo, 1930, hal. 149 dan seterusnya). 

Bagaimanapun Imam Syafie bukanlah seorang Syiah dalam erti kata yang sebenar tetapi sikapnya yang begitu kasih dan luhur terhadap Syiah Imamiyyah patut dicontohi. 

Apatah lagi Imam-Imam mereka dari keturunan Rasulullah SAW yang kita tidak pernah lupa dalam sembahyang kita setiap kali kita berdoa"Wahai Tuhanku, salawat dan salam kepada Muhammad dan keluarga Muhammad (Allahumma Solli 'ala Muhammad wa alihi Muhammad) 

Begitulah sikap dan pendirian para Imam Madzhab Empat terhadap Syiah Imamiyyah dan para Imam dari Ahlul Bait. 

Sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh Imamul Akbar al-Marhum as-Syaikh Mahmud

Shaltut ketika beliau masih memangku Jabatan Rektor al-Azhar; dan disiarkan pada tahun 1959 Masehi di Majalah Risalatul Islam yang diterbitkan oleh Darul Taqrib bainal Madzahibil Islamiyyah atau Lembaga Pendekatan Antara Madzhab-Madzhab Dalam Islam, yang berpusat di Kaherah, Mesir, nombor 3 tahun ke-11, halaman 227 berbunyi seperti berikut:

"Agama Islam tidak mewajibkan suatu madzhab tertentu atas siapapun antara pengikutnya. Setiap Muslim berhak sepenuhnya untuk mengikuti salah satu madzhab yang manapun juga yang telah sampai kepadanya dengan cara yang benar dan meyakinkan. ”

Dan yang perincian tentang hukum-hukum yang berlaku dalamnya telah dicatat dengan teliti dan sempurna dalam kitab-kitab madzhab yang bersangkutan yang memang dikhususkan untuk itu. 

“Begitu pula setiap orang yang mengikuti salah satu antara madzhab-madzhab itu, diperbolehkan pula untuk berpindah ke madzhab lainnya - yang manapun juga dan tiada ia berdosa sedikitpun dalam perbuatannya itu….. "

Katanya lagi, "Sesungguhnya Madzhab Ja'fariyyah yang dikenal dengan sebutan Madzhab Syiah Imamiyyah Itsna 'Asyariyyah adalah suatu madzhab yang peraturan-peraturannya seperti juga dalam madzhab-madzhab lainnya…. " (Lihat juga Dialog Sunnah Syiah, Bandung, 1984, hal. 32) 

Walaupun di Malaysia misalnya bermazhab Syafie, namun perkara yang penting ialah asalkan pengikut madzhab itu tidak berfahaman Asabiyyah, atau mengkafirkan madzhab-madzhab lain yang muktabar. 

PERBEZAAN KEDUA-DUA MAZHAB

Penerimaan Hadis-hadis Sahih

Semua pihak bersepakat menerima Hadith-Hadith Nabi yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang thiqah. Tetapi Syiah Imamiyyah mengutamakan Hadith-Hadith yang diriwayatkan olah Ahlul Bait, kerana mereka lebih mengetahui mengenai Nabi daripada orang lain, terutamanya Saidina Ali AS yang disifatkan oleh Nabi SAW sebagai "Pintu Ilmu". 

Dalam sebuah Hadith Nabi SAW, bersabda:"Aku adalah gedung ilmu, Ali adalah pintunya, dan sesiapa yang ingin memasukinya, mestilah menerusi pintunya" (Nisaburi, Mustadrak, Bab Kelebihan Ali). 

Ahlul Sunnah berpegang kepada sebuah Hadith Nabi yang merangkumi lima perkara iaitu (1) Mengucap Dua Kalimah Syahadat, (2) Sembahyang, (3) Puasa, (4) Zakat, (5) Haji. Sementara Syiah Imamiyyah berpegang kepada sebuah Hadith Nabi yang merangkumi lima perkara juga iaitu sembahyang, puasa, zakat, haji dan jihad. 

Adapun Hadith-Hadith yang menjadi rujukan Ahlul Sunnah terkumpul dalam Sahih-Sahih Bukhari, Muslim, Nasa'I, Ibn Majah, Abu Daud, Tirmidzi, Muwatta, Mustadrak, Musnad Ibn Hanbal dan lain-lain. 

Sementara Syiah Imamiyyah mengumpulnya dalam Usul al-Kafi oleh al-Kulaini, Man La Yahduruhul Faqih olah al-Saduq, Al-Istibsar fi al-Din, dan Tahdhib al-Ahkam, kedua-keduanya oleh al-Tusi, Bihar al-Anwar oleh Majlisi dan lain-lain. 

Sepatutnya semua buku-buku Hadith itu dikaji dan menjadi rujukan kepada umat Islam, khususnya sarjana-sarjana Islam tanpa fanatik kepada mana-mana madzhab. 

Pendapat Mengenai Wasiat Nabi SAW

Ahlul Sunnah berpendapat bahawa Nabi tidak meninggalkan sebarang wasiat kepada sesiapa untuk menjadi khalifah. Persoalan yang timbul, mungkinkah Nabi yang menyuruh umatnya supaya meninggalkan wasiat tetapi beliau sendiri tidak melakukannya!

Syi’ah Imammiyah berpendapat bahawa Ahlul Bait Nabi SAW adalah lebih mulia dari orang lain, sebagaimana firman Tuhan dalam Surah al-Ahzab: 33, "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai Ahlul Bayt dan menyucikan kamu sebersih-bersihnya". Oleh itu, itulah alasan mereka yang kukuh mengapa bagi mereka hanya Imam yang maksum yang seharusnya menjadi khalifah selepas Nabi s. aw. Syiah Imamiyyah percaya bahawa Imamah/Khalifah adalah jawatan yang dianugerahkan Tuhan kepada Ahlul Bait khususnya Ali AS sebagai orang yang diwasiatkan untuk menjadi Imam/Khalifah berdasarkan kepada Hadith Ghadir Khum, Hadith AS-Safinah, dan lain-lain (Hakim Nisaburi;al-Mustadrak, bab kelebihan Ali). 

Selain dari ayat itu, Syiah Imamiyyah berpegang kepada beberapa Hadith Nabi yang antaranya menerangkan kedudukan keluarga Rasulullah SAW dan keimamahan yang diwasiatkan baginda kepada seluruh umatnya selepas kewafatannya. Antaranya adalah:

Rasulullah bersabda:"Aku tinggalkan kepadamu dua perkara yang berharga:Kitab Allah dan keluargaku (al-Itrah) " (Sahih Muslim, Hadith Thaqalain). 

Rasulullah SAW bersabda:"Ahlul Baitku samalah seperti kapal Nabi Nuh, siapa yang menaikinya berjaya dan siapa yang tidak menaikinya akan binasa/tenggelam", (Al-Hakim Nisaburi, al-Mustadrak, Bab Kelebihan Keluarga Nabi). 

Bagi Ahlul Sunnah, mereka mengatakan Ahlul al-Bait itu lebih umum. Bagaimanapun keistimewaan diberi kepada mereka itu secara khusus. 

Selepas Ali, ia diganti oleh anak-anak cucunya dari Fatimah; Hasan, Husayn, Ali Zainal Abidin, al-Baqir, As-Sadiq, al-Kazim, al-Rida sehingga Mahdi al-Muntazar (Imam ke-12). 

Mereka dipanggil Imamah kerana mereka berpegang kepada Hadith Imamah/Khalifah dua belas yang bermaksud:"Urusan dunia selepasku tidak akan selesai melainkan berlalunya dua belas Imam". (Sahih Muslim, Sahih Bukhari, Bab al-Imarah). 

Mereka juga dikenali dengan madzhab Ja'fariyyah iaitu dinisbahkan dengan Imam keenam Ja'far as-Sadiq AS yang bersambung keturunannya di sebelah ibunya dengan khalifah Abu Bakar as-Siddiq ibunya bernama Ummu Farwah bt. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq. 

Sementara disebelah bapanya pula al-Baqir bin Ali Zainal Abidin (as-Sajjad) b. Husayn b. Ali dari ibunya Fatimah as-Siddiqah az-Zahra bt Muhammad Rasulullah. Dan beliau juga guru kepada Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. 

Pendapat (tafsir Al-Quran) Mengenai Pengambilan Wuduk

Bagaimanapun mereka berbeza mengenai basuh/sapu dalam Surah al-Maidah: 6, yang bermaksud:"Sapulah (Imsahu) kepada kamu dan kaki kamu". 

Jika ditinjau pengertian ayat itu bahawa bukan sahaja kepala yang wajib disapu, malah kaki pun sama, kerana perkataaan Imsahu memberi pengertian sapu, dan huruf ataf di situ mestilah dikembalikan kepada yang lebih hampir sekali. 

Lantaran itu Syiah Imamiyyah mengatakan kaki hendaklah disapu bukan dibasuh. Sementara Ahlul Sunnah mengatakan basuh kerana mereka berpegang kepada sebuah Hadith Nabi yang bermaksud:"Neraka wail bagi mata kaki yang tidak dibasahi air". Bagi Syiah Imamiyyah, mereka mengatakan Hadith itu ditujukan kepada orang yang tidak membersihkan anggota-anggotanya, termasuk kaki sebelum mengambil wuduk. Di samping itu, mereka berpegang kepada Hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Sabda Nabi SAW:"Wuduk itu dua basuh dan dua sapu", iaitu basuh muka dan tangan, adapun sapu ialah kepala dan kaki [Nota: Imam Baqir as bertanya di hadapan khalayak ramai:'Apakah kalian ingin saya nyatakan tentang wuduk Rasulullah SAWA ? Mereka menjawab, 'Ya'. Kemudian beliau meminta suatu bekas yang berisikan air. Setelah air itu berada di hadapan beliau, beliau AS menyingkap lengan bajunya dan memasukkan telapak tangan kanannya pada bekas yang berisikan air itu sambil berkata:'Begini caranya bila tangan dalam keadaan suci'. Kemudian beliau mengambil air dengan tangan kanannya dan diletakkan pada dahinya sambil membaca'Bismillah' dan menurunkan tangannya sampai ke hujung janggut, beliau meratakan usapan untuk kedua kalinya pada dahi beliau, kemudian beliau mengambil air dengan memasukkan tangan kirinya dari bekas itu dan beliau letakkan pada siku kanan beliau sambil meratakannya sampai ke hujung jari. Setelah itu beliau mengambil air dengan tangan kanan dan diletakkan pada siku kirinya sambil beliau ratakan sampai ke hujung jari. Kemudian dilanjutkan dengan mengusap ubun-ubun beliau dengan sisa air yang terdapat pada telapak tangan beliau sampai ke hujung dahi (tempat tumbuh rambut). Kemudian beliau usap kaki (bahagian atas) kanannya dengan sisa air yang terdapat pada telapak tangan kanan, sedangkan kaki kiri beliau usap dengan sisa air yang terdapat pada telapak kaki kiri (keduanya diusap sampai ke pergelangan kaki beliau - Al-Wasail Syiah, Juz. 1, bab 15, hal. 387]. 

Seruan Azan

Ahlul Sunnah membuang perkataan Haiya 'ala khayr al-'amal (marilah melakukan sebaik-baik amalan) dari azan asal dan menambah perkataan as-solatu khairun minam-naum (solat lebih baik dari tidur) dalam azan subuh. Kedua-dua perkataan itu dilakukan ketika pemerintahan khalifah Umar. Mengenai yang pertama, beliau berpendapat jika seruan itu diteruskan, orang Islam akan mengutamakan sembahyang dari berjihad. Tentang yang kedua, beliau dikejutkan dari tidurnya oleh muazzin dengan berkata:"Sembahyang itu lebih baik dari tidur", maka beliau lantas tersedar dan menyuruh muazzin itu menggunakan perkataan itu untuk azan Subuh. 

Oleh Syiah Imamiyyah diteruskan azan asal sebagaimana dilakukan di zaman Rasulullah SAW dan khalifah Abu Bakar r. a. 

Waktu Solat Jamak Dilaksanakan

Semua pihak bersetuju sembahyang boleh dijamak/dihimpun apabila seseorang itu musafir. Ahlul Sunnah pada keseluruhannya tidak menggalakkan jamak sembahyang selain dari musafir. Meskipun begitu, mereka tidak menyatakan sembahyang jamak itu tidak sah bagi orang yang bermukim. 

Imam Malik mengharuskan jamak sembahyang Zohor dengan Asar, Maghrib dan Isya' di hari hujan, Kebanyakan pengikut Imam Syafie berpendapat jamak sembahyang boleh dilakukan jika ada sebab yang diharuskan oleh syarak dan adalah menjadi makruh jika dilakukan secara kebiasaan. 

Syiah Imamiyyah menyatakan, sembahyang jamak boleh dilakukan tanpa sebab musafir, sakit atau ketakutan kerana Nabi SAW bersembahyang jamak tanpa sebab dan musafir. 

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahawa "Rasulullah SAW sembahyang berjamaah dengan menjamakkan Zohor dengan Asar, Maghrib dengan Isya' tanpa musafir dan tanpa sebab takut", (Sahih Muslim, Bab Jawaz Jam' as-Salah fil-Hadr). 

Solat Sunat Tarawikh

Ahlul Sunnah dan Syiah Imamiyyah bersetuju bahawa sembahyang tarawih tidak dilakukan pada masa Rasulullah dan khalifah Abu Bakar. Ia mula dilaksanakan atas arahan khalifah Umar r. a kerana beliau melihat orang ramai sembahyang sunat bertaburan di masjid, lantas beliau berkata:"Alangkah baiknya jika dilantik seorang lelaki untuk menjadi Imam bagi kaum lelaki dan seorang perempuan untuk menjadi Imam kaum wanita". 

Kemudian melantik Ubay bin Ka'ab mengimamkan pada malam berikutnya. Dan beliau berkata:"Ini adalah bidaah yang baik". Selepas itu beliau menghantar surat kepada gabenor-gabenor di seluruh negara supaya menjalankan sembahyang sunat secara berjamaah dan dinamakan Sembahyang Tarawih kerana setiap empat rakaat diadakan istirahat (Bukhari, Bab Sembahyang Tarawih, Muslim, Bab Sembahyang Malam). 

Syiah Imamiyyah tidak melakukan sembahyang terawih atas alasan itu. Saidina Ali ketika menjadi khalifah melarang orang ramai sembahyang tarawih dan menyuruh anaknya Hasan memukul dengan tongkat tetapi orang ramai berkeras terus melakukannya kerana ia sudah menjadi amalan tradisi. 

Meskipun begitu Syiah Imamiyyah sebagai contoh melakukan sembahyang sunat lima puluh rakaat pada tiap-tiap malam Ramadhan (Nota: terdapat sembahyang sunat khusus dan umum pada setiap malam Ramadhan - sila lihat Mafatihul Jinan) secara bersendirian di samping sembahyang sunat biasa; mereka sembahyang tiga puluh empat rakaat. 

Bilangan Takbir Semasa Solat Jenazah

Ahlul Sunnah menyatakan bilangan takbir Sembahyang Mayat ialah empat, sementara Syiah Imamiyyah mengatakan lima takbir. Di samping itu, Ahlul Sunnah sendiri tidak sependapat cara-cara mayat dihadapkan ke Kiblat. Maliki, Hanafi, dan Hanbali berpendapat mayat hendaklah diletakkan ke atas lambung kanannya dan mukanya menghadap Kiblat sebagaimana dilakukan ketika menanam mayat. 

Sementara Syiah Imamiyyah dan Syafie berpendapat mayat hendaklah ditelentangkan dan dijadikan kedua tapak kakinya ke arah Kiblat, jika ia duduk, dia menghadap Kiblat (M. Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, Jilid I, Penerbitan Ikhwan, Kota Bharu, 1985, hal. 47) 

Sebenarnya kita yang bermadzhab Syafie tidak sedar bahawa cara pengebumian mayat yang kita lakukan adalah tidak mengikut Syafie, dan Syafie pula sependapat dengan madzhab Syiah Imamiyyah dalam masalah itu dan berlainan dengan Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Begitu juga 'Undang-undang 99 Perak', dan 'bersalam' lelaki-perempuan dengan melapikkan kain di tengah tangan adalah dari madzhab Ja'fari sedangkan Imam Syafie tidak membenarkan berjabat tangan dengan bukan muhrim sekalipun secara berlapik atau beralas. 

Tempat Sujud Ketika Solat

Ahlul Sunnah tidak mensyaratkan sujud di atas tanah dalam sembahyang. Syiah Imamiyyah menyatakan sujud di atas tanah itu lebih afdhal kerana manusia akan lebih terasa rendah dirinya kepada Tuhan. Mereka berpegang kepada sebuah Hadith Nabi SAW yang bermaksud"dijadikan untukku tanah itu suci dan tempat sujud" (Sahih Muslim, Bab Mawdi' as-Salah). 

Nikah Mut’ah

Semua pihak bersetuju bahawa nikah mut'ah diharuskan pada zaman Nabi SAW tetapi mereka tidak sependapat tentang pembatalannya atau pemansuhannya selepas kewafatan Nabi SAW. Imam Malik mengatakan ia adalah harus kerana firman Tuhan dalam Surah an-Nisa: 24, yang bermaksud:"Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati antara mereka, maka berilah kepada mereka maharnya dengan sempurna, sebagai suatu kewajipan" sehingga terbukti pembatalannya. 

Imam Zulfar, anak murid Imam Abu Hanifah berpendapat ia harus kerana 'menghadkan waktu' dalam akad nikah itu tidak membatalkan akad. Beliau menamakan Nikah Mu'aqqat. 

Manakala Imam Muhammad Syaibani menyatakan ia makruh (lihat Zarkhasi, Kitab al-Mabsud, Cairo, 1954, Vol. 5, hal. 158). 

Az-Zamakhshari, seorang pengikut madzhab Hanafi, menyatakan ayat itu muhkamah, iaitu jelas tidak ada ayat yang memansuhkannya (Tafsir al-Kasysyaf, Cairo, Vol. I, hal. 189) 

Sementara Imam Syafie pula menyatakan ia telah dimansuhkan oleh sebuah Hadith yang diriwayatkan oleh al-Juhany, bahawa Rasulullah SAWA telah melarang dari melakukan mut'ah. Tetapi mengikut kaedah fiqiah bahawa Imam Syafie, Hanafi dn Hanbali bersepakat bahawa al-Qur'an tidak boleh dimansuhkan dengan Hadith yang mutawatir (yang diriwayatkan oleh bilangan ramai: Lawannya Hadith Ahad) kerana mereka berpegang dengan Surah al-Baqarah: 106, yang bermaksud:"Kami, tidak memansuhkan satu ayat atau melupakannya melainkan Kami gantikannya dengan ayat yang lebih baik daripadanya atau seumpamanya". 

Jelas sekali bahawa Hadith Nabi tidak setanding dengan al-Qur'an. Ini bererti Hadith yang melarang dilakukan mut'ah itu adalah Hadith Ahad dan mengikut kaedah itu ia tidak sekali-kali dapat memansuhkan ayat 24, dari Surah an-Nisa' (Nota: Pada hakikatnya Nabi SAW tidak mungkin bercanggah dengan al-Qur'an kerana apa yang dinyatakan oleh Nabi SAW adalah dari Allah SWT sebagaimana yang dinyatakan dalam Surah an-Najm: 4-5, bermaksud:"Dan tidak ia (Nabi SAW) bercakap mengikut hawa nafsunya, melainkan ia adalah wahyu yang diwahyukan (dari Allah) ". 

Mengikut kaedah itu, Imam Syafie sepatutnya mengatakan nikah mut'ah itu harus. Lebih menghairankan, Imam Syafie yang mengatakan nikah mut'ah itu dimansuhkan masih percaya kepada Hadith-Hadith Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Jurayh (w. 150H) seorang tabi'in yang menjadi Imam di Masjid Makkah pada masa itu, dan beliau telah berkahwin secara mut'ah dengan lebih sembilan puluh perempuan di Makkah. Sehingga beliau berkata kepada anak-anaknya:"Wahai anak-anakku, jangan kamu mengahwini perempuan-perempuan itu kerana mereka itu adalah ibu-ibumu". 

Bukan sahaja Imam Syafie yang menerima dan mempercayai Hadith-Hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Jurayh malah Imam Muslim dan Imam Bukhari menerimanya dalam Sahih-Sahih mereka. Berdasarkan kepada bukti-bukti di atas nampaknya Imam Syafie tidak begitu yakin tentang p€emansuhannya. Jikalau tidak, Ibnu Jurayh adalah penzina, dan tidak boleh menjadi Imam Masjid Makkah ketika itu dan riwayatnya mestilah ditolak. 

Pihak Syiah Imamiyyah merujuk kepada beberapa Hadith Nabi SAW, antaranya Hadith yang diriwayatkan oleh Imran bin Hasin yang berkata:"Ayat mengenai mut'ah telah diturunkan dalam al-Qur'an dan kami melakukannya di masa Rasulullah SAWA dan tidak diturunkan ayat yang memansuhkan/membatalkannya dan Nabi pula tidak melarangnya sehingga beliau wafat” (Imam Hanbali, Musnad, Jilid 4, hal. 363). 

Mereka juga memetik Saidina Ali AS sebagai berkata:"Jikalaulah Umar tidak melarang nikah muta'ah, nescaya tidak ada orang yang berzina melainkan orang-orang yang benar-benar jahat" (Tafsir al-Tabari, Bab Nikah Mut'ah). 

Mereka juga merujuk kepada sahabat Zubayr bin Awwam yang mengahwini Asma' binti Abu Bakar secara mut'ah dan mendapat dua cahaya mata yang masyhur dalam sejarah Islam iaitu Abdullah bin Zubayr dan adiknya Urwah bin Zubayr (Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Bab Nikah Mut'ah) ". 

Imam Ja'far as-Sadiq AS (Imam Keenam) Ahlul Bayt berkata:"Tiga perkara yang aku tidak akan menggunakan taqiyah: Haji Tamattuk, Nikah Mut'ah, dan 'hayya ala khairil amal” dan ditanya Imam Ja'far as-Sadiq AS mengenai nikah mut'ah, beliau menjawab, ”Ia halal sehingga Hari Kiamat”, (Al-Kulaini, Usul al-Kafi, Bab Mut'ah). 

Inilah sebahagian kecil dari hujah-hujah yang dipegang oleh Syiah Imamiyyah dalam masalah itu. 

Pertikaian Mengenai Definisi Sahabat

Imam Bukhari dalam Sahihnya memberi definisi sahabat sebagai orang yang bersahabat dengan Nabi SAW dan mati sebagai seorang Muslim atau orang yang pernah melihat Nabi dan mati sebagai seorang Muslim. Ahlul Sunnah mengatakan semua sahabat Nabi itu adil dan amanah sehingga tidak boleh dipertikaikan peribadi mereka. 

Sementara Syiah Imamiyyah berpendapat sahabat Nabi itu adalah manusia biasa, ada yang baik dan ada yang kurang baik. Dalam akidah Islam, sahabat bukanlah maksum; dengan itu mereka terdedah kepada sebarang kesalahan/dosa seperti manusia biasa. 

Mereka menyatakan ada ayat-ayt al-Qur'an yang memang ditujukan kepada sahabat-sahabat Nabi SAW, ada sahabat-sahabat yang lari ketika peperangan, melakukan perkara yang tidak diingini oleh Islam. Dan jika diperhatikan secara rasional tanpa Asabiyyah, tidaklah semestinya semua sahabat Nabi yang 'ratusan ribu' itu adil dan amanah, kerana celaan al-Qur'an itu ditujukan juga kepada mereka. 

Memang ada dari kalangan yang dinamakan sahabat, seramai lima belas orang, yang telah cuba membunuh Nabi sendiri selepas peperangan Tabuk di Aqabah (lihat Musnad ibn Hanbal, Beirut, 1943, Jilid 5, hal. 428-9). 

Bagaimanapun Syiah Imamiyyah tidak menafikan wujudnya sahabat-sahabat Nabi SAW yang setia. Mengenai Hadith "sahabat-sahabatku seperti bintang-bintang di langit", maka sanad Hadith ini adalah lemah dan ditolak oleh Ahlul Sunnah sendiri seperti Imam Abu Bakar as-Syafii dan lain-lain. 

Bagaimanapun ia tidaklah menafikan sebahagian dari sahabat-sahabat Nabi SAW itu boleh menjadi ikutan. Imam Bukhari dalam Sahihnya, Vol. 16, Kitab ar-Riqaq, Bab al-Hawd, mencatatkan sebuah Hadith yang diriwayatkan oleh al-Mughirah bin Syukbah, bahawa Rasulullah bersabda, maksudnya: Sahabat-sahabat kamu telah berubah selepas kamu (meninggal) ". 

Oleh itu Hadith ini menjadi asas yang kukuh untuk Ahlul Sunnah berfikir dengan rasional tanpa semata-mata taksub kepada madzhab kita. Apa yang menjadi asas ialah al-Qur'an dan Hadith Nabi SAW. 

Bagaimanapun Syiah Imamiyyah menghormati khalifah Abu Bakar, khalifah Umar dan jauh sekali dari mengkafirkan mereka berdua. Dan sekiranya ada Syiah yang mengkafirkan mereka, ini adalah Syiah yang ghulat, atau pandangan individu. Apatah lagi Imam Keenam Syiah ialah Imam Ja'far as-Sadiq AS yang bertemu di sebelah ibunya dengan khalifah Abu Bakar. 

Pemahaman Mengenai Ijtihad

Ahlul Sunnah bersetuju pintu ijtihad telah ditutup. Penutupan pintu ijtihad bererti 'jemputan' kepada zaman taqlid. Dan juga bererti tidak wujud lagi mujtahid yang baru; memadai dengan mujtahid-mujtahid yang telah mati. Lantaran itu persoalan-persoalan yang baru kurang dapat diatasi. 

Syiah Imamiyyah berpendapat bahawa pintu ijtihad masih terbuka dan mereka tidak membenarkan ia ditutup, kerana penutupan pintu ijtihad memberi implikasi penyerahan kepada kelemahan dan kebodohan sendiri dan ia bercanggah dengan al-Qur'an yang menuntut sebahagian umat Islam menjadi alim mujtahid di setiap masa. 

Sayang sekali Ahlul Sunnah dari madzhab Syafie, Hanafi, Hanbali dan Maliki telah menyerah diri kepada penutupan pintu ijtihad. Persoalan yang timbul, siapakah yang memerintahkan supaya ia ditutup? Mungkinkah pemerintahan sekular sebelum Imam al-Juwayni atau Imam Ghazali mengiystiharkan penutupan itu?

Imam al-Juwayni, guru kepada Imam al-Ghazali menyatakan"Sekiranya pintu ijtihad masih terbuka, maka aku adalah seorang mujtahid". Imam al-Juwayni sendiri mengakui penutupan itu dan dalam andaiannya, beliau juyga mujtahid sekiranya pintu itu dibuka. Dan di masa itu timbulnya perasaan fanatik kepada madzhab tertentu yang dikuti, dan masing-masing menakwil Hadith-Hadith mengikut pandangan madzhab mereka. 

Nabi SAW bersadba:"Umatku akan berpecah kepada 73 golongan, yang berjaya hanyalah 'satu' (al-Wahidah) ”. Muktazilah mengatakan yang satu itulah mereka. Murji'ah pula mengatakan merekalah yang berjaya dan bukan Muktazilah. Sementara Ahlul Sunnah mengatakan, mereka sahaja yang berjaya. 

Imam al-Ghazali mengatakan, apa yang dimaksudkan dengan umat itu adalah secara umum, dan golongan yang benar-benar berjaya ialah golongan yang tidak dibentangkan kepada neraka. Lantaran itu mengikut Imam al-Ghazali, sesiapa yang dimasukkan ke syurga dengan syafa'at, dia tidaklah benar-benar berjaya (At-Tafriqah bayn al-Islam wa Zandaqah, Mesir, 1942, hal. 75). 

FAHAMAN MENGENAI AHLUL BAIT

Ahlul-Bait adalah istilah yang berarti "Orang Rumah" atau keluarga. Dalam tradisi Islam istilah itu mengarah kepada keluarga Muhammad. Terjadi perbedaan dalam penafsiran baik Muslim Syi'ah maupun Sunni. Syi'ah berpendapat bahwa Ahlul Bait mencakup lima orang yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husain sebagai anggota Ahlul Bait (di samping Muhammad). Sementara Sunni berpendapat bahwa Ahlul Bait adalah keluarga Muhammad dalam arti luas, meliputi istri-istri dan cucu-cucunya, hingga terkadang ada yang memasukkan mertua-mertua dan menantu-menantunya. 

Pengertian Istilah Ahlul Bait

Kaum Syi’ah lebih mengkhususkan istilah Ahlul Bait Muhammad yang hanya mencakup Ali dan istrinya Fatimah, putri Muhammad beserta putra-putra mereka yaitu al-Hasan dan al-Husain (4 orang ini bersama Muhammad juga disebut Ahlul Kisa atau yang berada dalam satu selimut) dan keturunan mereka. 

Hal ini diperkuat pula dengan hadits-hadits seperti contoh berikut:
“Aisyah menyatakan bahwa pada suatu pagi, Rasulullah keluar dengan mengenakan kain bulu hitam yang berhias. Lalu, datanglah Hasan bin Ali, maka Rasulullah menyuruhnya masuk. Kemudian datang pula Husain lalu beliau masuk bersamanya. Datang juga Fathimah, kemudian beliau menyuruhnya masuk. Kemudian datang pula Ali, maka beliau menyuruhnya masuk, lalu beliau membaca ayat 33 surah al-Ahzab, "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. 

Adapun risalah lengkap sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Muslim adalah sebagai berikut:
Yazid bin Hayyan berkata, "Aku pergi ke Zaid bin Arqam bersama Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim. Setelah kami duduk, Husain berkata kepada Zaid bin Arqam, 'Hai Zaid, kau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Kau melihat Rasulullah, kau mendengar sabda beliau, kau bertempur menyertai beliau, dan kau telah shalat dengan diimami oleh beliau. Sungguh kau telah memperoleh kebaikan yang banyak. Karena itu, sampaikan kepada kami hai Zaid, apa yang kau dengar dari Rasulullah!'"
"Kata Zaid bin Arqam, 'Hai kemenakanku, demi Allah, aku ini sudah tua dan ajalku sudah semakin dekat. Aku sudah lupa sebagian dari apa yang aku dengar dari Rasulullah. Apa yang bisa aku sampaikan kepadamu terimalah dan apa yang tidak bisa aku sampaikan kepadamu janganlah kamu memaksaku untuk menyampaikannya. '"
"Kemudian Zaid bin Arqam mengatakan, 'Pada suatu hari Rasulullah berdiri dengan berpidato di suatu tempat air yang disebut Khumm antara Mekkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan, lalu beliau bersabda, Ketahuilah saudara-saudara bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Tuhanku (malaikat pencabut nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan untuk kalian dua hal yang berat, yaitu: 1) Al-Qur'an yang berisi petunjuk dan cahaya, karena itu laksanakanlah isi Al-Qur'an dan pegangilah. (Beliau mendorong dan mengimbau pengamalan Al-Qur'an). 2) Keluargaku. Aku ingatkan kalian agar berpedoman dengan hukum Allah dalam memperlakukan keluargaku (tiga kali) ". 

Istilah Ahlul Kisa

Kaum Sufi yang memiliki keterikatan dengan Ahlul Kisa, iaitu keluarga Ali bin Abu Talib r. a dan Fatimah az-Zahra baik secara zhahir (faktor keturunan) dan secara bathin (do'a dan amalan) sangat mendukung keutamaan Ahlul Kisa. Tetapi, Sufi berpendapat bahwa Ahlul Bait bukan hanya Ahlul Kisa sesuai dengan hadits tsaqalayn. Sufi berpendapat bahwa Ahlul Bait adalah mereka yang haram menerima zakat, yaitu keluarga Ali, Aqil dan Ja'far (yang merupakan putra-putra Abu Thalib) dan keluarga Abbas (Hadits Shahih Muslim dari Zaid bin Arqam). Dengan demikian kaum Sufi dalam hal kekhalifahan memiliki perbedaan tajam dengan kaum Syi'ah. 
Hadist Shahīh Ahlul Kisa
Shahīh Muslim, vol. 7, hal. 130

Aisyah berkata, "Pada suatu pagi, Rasulullah saw keluar rumah menggunakan jubah (kisa) yang terbuat dari bulu domba. Hasan datang dan kemudian Rasulullah menempatkannya di bawah kisa tersebut. Kemudian Husain datang dan masuk ke dalamnya. Kemudian Fatimah ditempatkan oleh Rasulullah di sana. Kemudian Ali datang dan Rasulullah mengajaknya di bawah kisa dan berkata, 

"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. " (QS. Al-Ahzab [33]:33) [4]

Sunan at-Turmudzi, Kitab al-Manâqib

Ummu Salamah mengutip bahwa Rasulullah saw menutupi Hasan, Husain, Ali dan Fatimah dengan kisa-nya, dan menyatakan, "Wahai Allah! Mereka Ahlul Baitku dan yang terpilih. Hilangkan dosa dari mereka dan sucikanlah mereka!"

Ummu Salamah berkata, "Aku bertanya pada Rasulullah saw, Wahai Rasul Allah! Apakah aku termasuk di dalamnya?" Beliau menjawab, "Engkau berada dalam kebaikan (tetapi tidak termasuk golongan mereka). "

Imam Turmudzi menulis di bawah hadits ini, "Hadits ini shahīh dan bersanad baik, serta merupakan hadits terbaik yang pernah dikutip mengenai hal ini. "

Demikianlah antara beberapa hal yang menjadi isu hangat di kalangan ahli ulama di seluruh dunia sejak kewafatan Nabi SAW hingga hari ini. Masih terdapat banyak lagi isu yang harus didiskusikan di sini namun keterlajakan waktu tidak memberikan kesempatan buat saya untuk meneruskan penulisan ilmiah ini. Cukuplah kiranya isi yang ada ini menjadi iktibar sekali gus membuka mata pembaca dalam menyahut seruan Illahi dalam menimba ilmu duniawi dan akhirat. 

KESIMPULAN

Beberapa perkara telah diperbincangkan di atas berkaitan dengan persamaan dan perbezaan pendapat yang terjadi antara Ahlul Sunah dan Syiah yang mana banyak mengajar kita untuk mencari inisiatif untuk menyelamatkan agama Islam dari ditindas dek kerana persengketaan sesama saudara Islam. 

Terdapat satu hadis yang menerangkan mengenai pentingnya penggunaan akal dalam mencari kebenaran ini. Sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya malaikat Jibril turun menemui Adam, dan berkata kepadanya: sesungguhnya Allah SWT menyuruhku untuk menawarkan satu pilihan dari tiga pilihan yang ditawarkan-Nya iaitu: akal, agama dan rasa malu. Adam menjawab: Aku memilih akal. Maka agama dan rasa malu pun berkata: Kalau begitu kami bersama kamu wahai Adam, sebab Allah SWT telah menyuruh kami agar bersama akal walau di mana pun ia berada. ” Dari hadis tersebut, kita dapat menarik beberapa hal penting sebagai berikut: Segala sesuatu yang ditolak oleh akal, maka ia tidak termasuk agama. Orang yang tidak berakal, bererti tidak beragama dan tidak mempunyai rasa malu, sekali pun ia melakukan solat di malam hari atau pun puasa di siang hari. 

Orang yang alim (ilmuwan, ulama, cendekiawan) yang fanatik terhadap sesuatu mazhab, dalam mazhab apa saja, maka keadaan mereka itu jauh lebih buruk dari orang yang bodoh, kerana ia pada saat itu tidak fanatik pada agama dan Islam, tetapi fanatik pada individu, iaitu pada Imam mazhab itu sendiri, kerana akal kita pun tidak mengharuskan kita mengikuti Imam mazhab sahaja secara khusus. Begitu juga jika menentang mazhab, kita juga tidak menentang mazhab dan kebenarannya, sekali pun kita menentang Imam mazhab sebab yang benar adalah kita mengikuti gambaran yang dilukiskan oleh akal dalam menggambarkan Islam. 

Bagi mengakhiri tajuk perbincangan saya ini, saya mengucapkan jutaan terima kasih kepada Ustaz Abdul Aziz bin Harjin yang banyak memberikan info secara tidak langsung dalam proses menyiapkan kerja saya kali ini. Oleh itu, saya memohon kepada Allah agar Dia dapat membimbing saya serta para pembaca kepada kebenaran, dan agar Dia memberikan manfaat pada setiap bait kata yang saya suratkan dalam lembaran-lembaran ini bagi membuka jalan buat sesiapa yang ingin mencari manfaat. Bagi-Nya segala puji, Yang Maha Awal dan Maha Akhir. Allahumma Solli ‘Ala Muhammad Wa Ali Muhammad. 

RUJUKAN

1. Fiqih Lima Mazhab- edisi lengkap (Muhammad Jawad Mughniyah) 
2. Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas. 
3. Artikel Iran kelas-Mula

Ustaz Abd Aziz bin Harjin
Pensyarah Tamadun Islam
Universiti Teknologi MARA Perlis
02600 Arau
Perlis
MALAYSIA

H: 013-4006206
P: 04-9882701
E: abdazizharjin@perlis.uitm.edu.my
W: abdazizharjin.blogspot.com